TNC GROUP ONLINE WEB.ID|-Jakarta - Tiga puluh lima tahun silam, tepatnya Rabu, 10 Januari 1990, sebuah tragedi besar menimpa keluarga kami di Medan, Sumatera Utara. Peristiwa itu bukan hanya merenggut nyawa ibu kami, tetapi juga mengubah seluruh jalan hidupku dan tujuh saudara kandungku. Hingga kini, kenangan pahit itu masih melekat kuat, menjadi luka sekaligus pelajaran tentang betapa rapuhnya keadilan ketika aparat lebih mementingkan prestasi daripada kebenaran.
Papa dan mama, yang akrab disapa Robi dan Hera, dikenal sebagai pasangan harmonis. Mereka sering mengajak kami berkunjung ke keluarga besar, membangun suasana hangat yang membuat rumah selalu penuh tawa. Aku adalah anak keempat dari delapan bersaudara. Kakak sulungku laki-laki, sementara mayoritas saudara lainnya perempuan. Saat tragedi itu terjadi, aku masih duduk di kelas enam SD, sedangkan adik bungsu kami, Gio, baru berusia empat tahun.
Seperti biasa, setiap pagi sebelum pukul tujuh, mama mengantar kami ke sekolah dengan mobil Kijang Super. Namun pagi itu berbeda. Kami menunggu di bawah, tetapi hingga pukul tujuh, papa dan mama belum turun dari kamar mereka di lantai dua. Rasa cemas mulai muncul. Aku teringat percakapan mama lewat telepon semalam, suaranya terdengar panik dan ketakutan. Pikiran buruk pun menghantui.
Aku memberanikan diri naik ke atas dan mengetuk pintu kamar. Tidak ada jawaban. Aku mendorong pintu, namun tubuh kecilku tak mampu membukanya. Melalui celah pintu, aku mengintip dan terkejut melihat papa dan mama terbaring di kasur, bersimbah darah. Panik, aku berteriak memanggil abangku Rudi, yang saat itu duduk di kelas tiga SMP. Ia memanjat dari luar rumah, berhasil masuk, dan membuka pintu kamar.
Pemandangan di depan mata sungguh mengerikan. Papa dan mama terkapar berdampingan, berlumuran darah. Sebilah pisau menancap di tubuh papa, sementara tangan mama masih menggenggam pisau itu. Bagi pikiranku yang masih kanak-kanak, posisi itu jelas janggal. Bagaimana mungkin dikatakan mereka berkelahi, sementara tubuh mereka terbaring berdampingan seperti orang tidur?
Tak lama kemudian, tetangga berdatangan, lalu polisi dari Polrestabes Medan tiba untuk mengamankan TKP. Berita pun segera heboh di surat kabar. Mama dikabarkan ditikam 19 kali, sementara papa 23 kali. Mama meninggal di tempat, sedangkan papa masih bernapas dan segera dibawa ke RS Brimob.
Setelah pemakaman mama, kami anak-anak hanya bisa berdoa agar papa selamat. Doa itu dijawab: setelah hampir sebulan dirawat, papa akhirnya pulih. Namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Polisi tiba-tiba menetapkan papa sebagai tersangka pembunuhan. Media menulis, “Seorang Pengusaha Kelapa Sawit Membunuh Istrinya.”
Memang benar papa memiliki kebun sawit di Binjai, tetapi tuduhan itu terasa mustahil. Bagaimana mungkin seseorang menikam istrinya 19 kali, lalu menusuk dirinya sendiri 23 kali? Secara logika, satu tusukan saja sudah cukup melemahkan tubuh.
Meski penuh kejanggalan, penyidik tetap melanjutkan perkara. Jaksa menerima Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan kasus pun dilimpahkan ke pengadilan. Aku tidak tahu isi BAP itu, tetapi hatiku menolak percaya papa sanggup melakukan hal keji tersebut. Namun proses hukum berjalan, dan papa dijatuhi hukuman lima tahun penjara.
Saat itu aku mulai beranjak remaja, duduk di bangku SMP. Kehilangan orang tua membuatku bergaul bebas, bertemu banyak orang dewasa. Dari salah satu teman, aku mendengar kabar mengejutkan: pelaku sebenarnya adalah seorang pria bernama Rolan, pekerja di kebun sawit papa. Informasi itu sejalan dengan firasatku sejak awal, bahwa papa bukanlah pelaku.
Aku memberanikan diri mengunjungi papa di Lapas Tanjung Gusta. Dengan gaya seperti detektif, aku ingin tahu kebenaran. Papa yang kutemui sudah berubah: ia berhenti merokok, kini selalu memegang Alkitab. Dengan lembut, papa mengakui bahwa Rolanlah pelaku sebenarnya. Namun ia berpesan agar aku tidak menyimpan dendam. Menurutnya, semua ini adalah takdir, dan yang terpenting adalah belajar memaafkan.
Pesan itu membuatku semakin heran. Mengapa polisi begitu mudah menuduh papa? Bukti di TKP jelas tidak mendukung tuduhan itu. Tetapi rupanya, bagi sebagian penyidik, yang penting adalah laporan keberhasilan. Kasus yang cepat selesai dianggap prestasi, menjadi jalan pintas untuk kenaikan pangkat. Kebenaran dan keadilan dikorbankan demi citra.
Kini, setelah aku menjadi jurnalis, aku semakin memahami pola itu. Banyak kasus yang direkayasa, demi menunjukkan “keberhasilan” aparat. Ironisnya, mereka yang melakukan manipulasi justru dianggap berprestasi. Sementara korban seperti papa, yang kehilangan istri dan harus menanggung fitnah, hanya bisa pasrah mendekam di penjara.
Tragedi keluarga kami adalah bukti nyata betapa berbahayanya sistem yang lebih mementingkan citra daripada kebenaran. Papa bukan hanya kehilangan pasangan hidup, tetapi juga martabatnya sebagai manusia. Kami anak-anak kehilangan figur orang tua, dan harus tumbuh dengan luka yang tak pernah benar-benar sembuh. (*)
*Note: Tulisan ini dibuat sebagai pengingat kematian Ibundaku yang pada hari ini, 8 Desember 2025, andai masih hidup, berulang tahun ke-73. RIP mamaku tersayang.*
_Penulis adalah jurnalis di Papua, peserta lomba menulis bertema “Pengalaman Buruk dengan Polisi Indonesia”. Lomba ini masih dibuka hingga 15 Desember 2025. Informasi lengkap di sini: https://bit.ly/4opwDVZ_



FOLLOW THE TNC GROUP ONLINE AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow TNC GROUP ONLINE on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram